I.
Paradigma Positivisme
Paradigma positivisme menurut beberapa pendapat yaitu
komunikasi merupakan sebuah proses linier atau proses sebab akibat yang
mencerminkan upaya pengirim pesan untuk mengubah pengetahuan penerima pesan
yang pasif (Ardianto, 2009). Jadi, paradigma Positivisme ini memandang proses
komunikasi ditentukan oleh pengirim (source-oriented). Berhasil atau
tidaknya sebuah proses komunikasi bergantung pada upaya yang dilakukan oleh
pengirim dalam mengemas pesan, menarik perhatian penerima ataupun mempelajari
sifat dan karakteristik penerima untuk menentukan strategi penyampaian pesan.
Teori yang termasuk dalam paradigma positivisme diantaranya
yaitu Teori Agenda Setting dan Teori Kulitivasi (Cultivation Theory).
1. Teori
Agenda Setting
Teori Agenda Setting dicetuskan oleh Maxwell McCombs dan
Donald Shaw. Teori ini muncul pada awalnya dari penelitian tentang pemilihan
presiden di Amerika Serikat tahun 1968. Dari penelitian tersebut ditemukan
bahwa ada hubungan sebab-akibat antara isi media dengan persepsi pemilih. Mc
Combs dan Shaw pertama-tama melihat agenda media. Agenda media dapat terlihat
dari aspek apa saja yang coba ditonjolkan oleh pemberitaan media terebut.
Teori agenda setting menegaskan kekuatan media massa dalam
mempengaruhi khalayaknya. Media massa mampu membuat beberapa isu menjadi lebih
penting dari yang lainnya. Media mampu mempengaruhi tentang apa saja yang perlu
kita pikirkan. Lebih dari tu, kini media massa juga dipercaya mampu
mempengaruhi bagaimana cara kita berpikir.
Salah satu contoh dari Teori Agenda Setting yaitu sinetron
yang tanyang di televisi-televisi, ia telah mampu menggiring para kaula muda
untuk mengikuti gaya pada pemeran/artis di sinetron tersebut. Dari mulai gaya
berpakaian, hingga bahasa yang digunakan.
2. Teori
Kultivasi
Teori kultivasi adalah teori sosial yang meneliti efek jangka panjang dari televisi pada khalayak. Teori ini merupakan salah satu teori komunikasi massa yang dikembangkan oleh George Gerbner dan Larry Gross dari University of Pennsylvania. Teori kultivasi ini berasal dari beberapa proyek penelitian skala besar berjudul 'Indikator Budaya'. Tujuan dari proyek Indikator Budaya ini adalah untuk mengidentifikasi efek televisi pada pemirsa. Gerbner dan Stephen Mirirai mengemukakan bahwa televisi sebagai media komunikasi massa telah dibentuk sebagai simbolisasi lingkungan umum atas beragam masyarakat yang diikat menjadi satu, bersosialisasi dan berperilaku.
Teori kultivasi adalah teori sosial yang meneliti efek jangka panjang dari televisi pada khalayak. Teori ini merupakan salah satu teori komunikasi massa yang dikembangkan oleh George Gerbner dan Larry Gross dari University of Pennsylvania. Teori kultivasi ini berasal dari beberapa proyek penelitian skala besar berjudul 'Indikator Budaya'. Tujuan dari proyek Indikator Budaya ini adalah untuk mengidentifikasi efek televisi pada pemirsa. Gerbner dan Stephen Mirirai mengemukakan bahwa televisi sebagai media komunikasi massa telah dibentuk sebagai simbolisasi lingkungan umum atas beragam masyarakat yang diikat menjadi satu, bersosialisasi dan berperilaku.
Jadi, teori kultifasi lebih kepada media televisi yang
dapat mempengaruhi persepsi khalayak terhadap realita yang sebenarnya.
Sehingga, kehidupan nyata akan terkalahkan dengan pengetahuan yang disampaikan
oleh media televise, meskipun pengetahuan itu tidak sama dengan kenyataan yang
sebenarnya.
Salah satu contohnya yaitu pemirsa/penonton televisi yang
memberikan penilaian kepada seorang penjahat itu adalah yang badannya besar dan
kekar dan bertato, padahal seorang penjahat tidak semuanya seperti itu, bahkan
dalam kenyataan ada yang berbanding terbalik.
II.
Paradigma
Konstruktivisme
Paradigma konstruksionis
memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi
terbentuk dari hasil konstruksi. Karenanya, konsentrasi analisis pada paradigma
konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut
dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam studi komunikasi,
paradigma konstruksionis ini sering sekali disebut sebagai paradigma produksi
dan pertukaran makna. Ia sering dilawankan dengan paradigma positivis atau paradigma
transmisi.
Paradigma Konstruktivisme
menolak pandangan positivisme yang memisahlkan subjek dengan objek komunikasi.
Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat
untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai
penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap subjek (komunikan/decoder)
sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan
sosial.
Adabeberapa teori yang
terdapat dalam lingkup paradigma Kontruktivisme ini, diantaranya yaitu Teori
Kegunaan dan Kepuasan (Uses And Grafications Theory) dan Teori Interaksionisme
Simbolik.
1.
Teori Kegunaan dan Kepuasan
Teori Penggunaan dan Pemenuhan
Kepuasan (Uses And Grafications Theory) pada awalnya muncul ditahun 1940 dan
mengalami kemunculan kembali dan penguatan di tahun 1970an dan 1980an. Teori
ini pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Blumer dan Elihu Katz (1974). Teori
ini mengatakan bahwa pengguna media memainkan peran aktif untuk memilih dan
menggunakan media tersebut.
Dengan kata lain, pengguna
media adalah pihak yang aktif dalam proses komunikasi. Pengguna media berusaha
mencari sumber media yang paling baik di dalam usaha memenhi kebutuhannya.
Artinya pengguna media mempunyai pilihan alternatif untuk memuaskan
kebutuhannya.
Misalnya, seseorang merupakan
sekelompok konsumen aktif yang secara sadar menggunakan media dengan memilih
media yang tepat untuk memenuhi kebutuhannya
dalah hal informasi atau yang lainnya, baik personal maupun sosial yang diubah menjadi
motif-motif tertentu.
2.
Teori Interaksionisme Simbolik
Teori Interaksionisme Simbolik
dikenalkan oleh George Harbert Mead (1863-1931). Teori interaksionisme simbolik
mulai berkembang pada pertengahan abad ke-20. Teori Interaksionalisme simbolik
(symbolic interactionism) adalah pendekatan teoritis dalam memahami hubungan
antara manusia dan masyarakat. Ide dasar teori interaksionisme simbolik adalah
bahwa tindakan dan interaksi manusia hanya dapat dipahami melalui pertukaran
symbol atau komunikasi yang sarat makna.
Teori interaksionisme simbolik
beranggapan bahwa khalayak adalah produk sosial. Teori ini mempunyai metodologi
yang khusus, karena interaksionisme simbolik melihat makna sebagai bagian
fundamental dalam interaksi masyarakat. Dalam penelitian mengenai interaksi
dalam masyarakat tersebut, teori interaksionisme simbolik cenderung menggunakan
metode kualitatif dibanding metode kuantitatif.
Sebagai contoh adalah bagaimana
proses komunikasi dan permainan bahasa yang terjadi dalam hubungan antara dua
orang, terutama pria dengan wanita. Ketika mereka berkomunikasi dengan
menggunakan simbolisasi bahasa SAYA dan ANDA, maka konsep diri yang terbentuk
adalah “dia ingin diri saya dalam status yang formal”. Atau misalkan
simbolisasi bahasa yang dipakai adalah ELO dan GUE maka konsep diri yang
terbentuk adalah “dia ingin menganggap saya sebagai teman atau kawan semata”,
serta ‘KAMU dan AKU’ juga yang lainnya.
III.
Paradigma
Krisis
Paradigma kritis lahir sebagai koreksi dari pandangan
kontruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reprosuksi makna
yang terjadi secara historis maupun intitusional. Analisis teori kritis tidak
berpusat pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses
penafsiran seperti pada konstruktivisme.
Beberapa teori yang dinaungi oleh Paradigma Kritis
diantaranya yakni Teori Feminis dan Teori Analisis Wacana
.
.
1.
Teori Feminis
Feminisme berdasar pada asumsi bahwa gender merupakan
konstruksi sosial yang didominasi oleh pemahaman yang bias laki-laki dan
menindas perempuan. Feminisme secara umum menantang asumsi dasar masyarakat dan
mencari alternatif pemahaman yang lebih membebaskan, yaitu pemahaman yang
meletakkan wanita dan pria dalam posisi yang seimbang. Feminisme secara garis
besar dapat diklasifikasi menjadi dua golongan, yaitu feminisme liberal dan
feminisme radikal. Feminisme liberal lebih kepada paham paham demokrasi
liberal, yaitu bahwa keadilan mencakup juga jaminan terhadap kesamaan hak bagi
semua individu. Sedangkan feminisme radikal, lebih kepada melihat persoalan
tidak sebatas pada hak yang bersifat publik. Oleh karena itu, jika feminisme
liberal beranggapan bahwa masalah gender dapat diatasi dengan distribusi hak secara
adil, maka bagi feminisme radikal hal ini tidak menyelesaikan persoalan.
Misalnya, Perempuan menanggapi dunia secara berbeda dari
laki-laki karena pengalaman dan aktivitasnya berbeda yang berakar pada
pembagian kerja.
2.
Analisis Wacana
Teori analisis wacana termasuk dalam proses komunikasi yang
menggunakan simbol-simbol, berkaitan dengan interpretasi dan
peristiwa-peristiwa, di dalam sistem kemasyarakatan yang luas. Melalui
pendekatan wacana pesan-pesan komunikasi, seperti kata-kata, tulisan,
gambar-gambar, dan lain-lain, tidak bersifat netral atau steril. Eksistensinya
ditentukan oleh orang-orang yang menggunakannya, konteks peristiwa yang
berkenaan dengannya, situasi masyarakat luas yang melatarbelakangi
keberadaannya, dan lain-lain. Kesemuanya itu dapat berupa nilai-nilai,
ideologi, emosi, kepentingan-kepentingan, dan lain-lain.
Dalam khasanah studi analisis tekstual, analisis wacana
masuk dalam paradigma kritis, suatu paradigma berpikir yang melihat pesan
sebagai pertarungan kekuasaan, sehingga teks berita dipandang sebagai bentuk
dominasi dan hegemoni satu kelompok kepada kelompok yang lain. Paradigma kritis
melihat bahwa media bukanlah saluran yang bebas dan netral. Media justeru
dimiliki oleh kelompok tertentu dan digunakan untuk mendominasi kelompok yang
tidak dominan. Dengan kata lain, teks di dalam media adalah hasil proses wacana
media (media discourse) Di dalam proses tersebut, nilai-nilai, ideologi, dan
kepentingan media turut serta. Hal tersebut memperlihatkan bahwa media “tidak netral”
sewaktu mengkonstruksi realitas sosial.
Sumber :
http://terinspirasikomunikasi.blogspot.co.id/2012/12/paradigma-positivisme-konstruktivisme.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar