Minggu, 12 Juni 2016

Global Village (McLuhan)

Global Village
Marshall McLuhan



1.    Pengertian Global Village

Marshall McLuhan mengkonseptualisasikan “global village” yang dimaknai sebagai sebuah proses homogenisasi jagat sebagai akibat dari kesuksesan system komunikasi secara keseluruhan. Saat ini, betapa mudahnya orang melakukan komunikasi jarak jauh, tidak hanya antarkota melainkan antarnegara yang lokasinya sangat berjauhan. Bahkan, saat ini tidak jarang para petinggi negara mengadakan pertemuan dengan staf pembantunya (misalnya menteri) melalui teleconference atau konferensi jarak jauh dengan maksud untuk memantau keadaan atau situasi dalam negeri, baik keadaan politik maupun ekonomi, dan sebagainya. Demikian pula, komunikasi dapat dilakukan melalui media internet yang dalam waktu yang relatif singkat, dapat diperoleh informasi atau berita-berita aktual yang terjadi di belahan penjuru dunia ini. Itulah gambaran kehidupan saat ini, kehidupan yang serba menglobal dalam berbagai aspek atau dimensi kehidupan manusia. Inilah yang disebut dengan globalisasi (globalization).

2.    Makna Global Village
Bukan rahasia lagi kalau saat ini dunia sedang mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam  berbagai bidang dan aspek kehidupan masyarakat dan negara. Batas-batas teritorial antarnegara yang sebelumnya menjadi salah satu kendala yang dihadapi dalam konteks hubungan antarbangsa dan negara, kini hal itu tidak menjadi kendala yang berarti. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam eskalasi yang tinggi terutama teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi telah menyebabkan batas-batas atau sekat-sekat geografis antarnegara dan bangsa seolah tak nampak lagi sehingga memungkinkan merubah pola sikap dan prilaku manusia dapat berubah sehingga dapat pula berpengaruh bagi tingkat kesehatan pada lapisan Masyarakat , Pantas kalau banyak pihak mengatakan bahwa kecenderungan kehidupan bangsa dan negara saat ini mengarah kepada terbentuknya suatu masyarakat global (global village).  Khususnya pada tingkat kesehatan seluruh lapisan masyarakat.



3.    Proses Global Village

 Jalur Teknologi dan  Informasi
Menurut Alwi Dahlan (1996) bahwa teknologi komunikasi merupakan pendorong utama (push factor) globalisasi, yang dapat menghasilkan berbagai produk baru yang dapat mempermudah, mempercepat, dan mempermurah hubungan antarmanusia (human relation). Dan khususnya kemajuan tehnologi di bidang kesehatan misalnya alat-alat kedokteran seperti ,EKG, USG, MRI dan sebagainya . Selain itu Kemajuan teknologi komunikasi tersebut terdapat dalam segala tahap komunikasi; -semenjak pengiriman pesan (sending the message) (misalnya via pemancar, pesawat telepon, ponsel, dsb), penyaluran dan penyampaian/distribusi (misalnya teknologi satelit, seluler, laser, serat optic, dsb), serta penyajian atau penampilan pesan komunikasi (LCD player, HDTV, TV Plasma, telepon-fax yang sekaligus berfungsi sebagai foto copy-scanner-printer).

4.    Dampak Positif dan Negatif Global Village

Dampak positif Global Village  antara lain:
1.    Mudah memperoleh informasi dan ilmu pengetahuan dan Kesehatan
2.    Mudah melakukan komunikasi antara sesame tenaga kesehatan
3.    Akses ke sarana kesehatan lebih cepat (mobilitas tinggi)
4.    Menumbuhkan sikap kosmopolitan dan toleran
5.    Memacu untuk meningkatkan kualitas diri
6.    Mudah memenuhi kebutuhan

Dampak negatif Global Village :
1.    Informasi yang tidak tersaring
2.    Perilaku konsumtif
3.     Membuat sikap menutup diri, berpikir sempit bagi tenaga kesehatan
4.     Pemborosan pengeluaran dan meniru perilaku yang buruk
5.     Mudah terpengaruh oleh hal yang berbau barat

5.    Keputusan mendasar mekanisme social budaya menurut McLuhan

Problem interaksi sosial masyarakat kontemporer dalam memanfaatkan ruang bersama (publik) maya digunakan untuk saling bertukar informasi dan bersosialisasi. Kini penggunaan alat teknologi komputer dan jaringan sibernetis-nya (cybernetic) sudah semakin dekat dengan keseharian kita. Orang lebih mudah melakukan transaksi jual beli melalui internet. Meski demikian, kondisi ini merupakan ciri perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang demikian pesat. Kelanjutan dari teknologi ini telah menemukan jalurnya yang paling cepat, melesat bak Apollo yang diluncur ke luar angkasa. Paul Virilio menyebutnya dalam teori The Dromosphere, yang menjelaskan bahwa dengan kecepatan teknologi dapat mempersempit ruang gerak masyarakat secara topografik (Virilio, 1991).
Secara sederhana model percepatan ruang dan waktu yang tak terbatas itu terbuka lebar bagi siapapun untuk memanfaatkan kecanggihan teknologi media dalam melakukan proses interaksi dan relasi sosial lainnya. Permulaan ini dilihat saat karya science-fiction cyberpunk, ‘Neuromancer’ mampu menggambarkan keadaan dunia virtual melalui ide cerdas William Gibson (1984). Dunia ini tidak lagi menghadirkan sosok diri kita secara utuh. Dan, Gibson menyebutnya sebagai ‘the information superhighway’ atau ‘the Matrixs’[4].
Dalam studi akademis, proyeksi masa depan itu pernah dibuktikan oleh Sherry Turkle. Ia setidaknya telah memberikan dasar pengetahuan yang cukup menyeluruh pada budaya-tekhno (technoculture) masyarakat kontemporer dan memperkenalkan sejenis ‘sosiologi komputer’. Mark Poster mengkajinya lebih dekat kepada persoalan human-machine relationship yang berasal dari pendapat Gilles Deleuze, Felix Guattari dan Donna Haraway. Di samping itu, Baudrillard memakai jurus simulakra untuk memaknai sepak terjang citraan semu yang berpola pada ide reproduksi mekanis milik Walter Benjamin. Garis besarnya, studi-studi ini bersumber dari gagasan Marshall McLuhan yang turut memberikan penajaman aspek keterhubungan antara media, budaya dan masyarakat melalui jenis media (elektronik) dan efek media yang ditimbulkannya (McLuhan, 1964).
Sejauh pandangan dari para tokoh postmodernis itu mampu mengamati dan menjelaskan hubungan teknologi komputer dengan konstruksi imajiner, citra-citra, image yang mengubah rasionalitas setiap aktor mendorong bentuk keniscayaan yang tak terelakkan di era cyberculture. Haluan ini perlahan dideteksi sebagai realitas “semu” antara batas-batas wilayah psikososial menuju pada keteraturan yang homogen dan integral namun sesungguhnya terfragmentasi.
Dalam Teori Media Baru, Marshall McLuhan memperkenalkan istilah “Medium is an extension of man”—medium adalah perpanjangan tangan manusia. Dan, yang paling mendekati dari pandangan McLuhan adalah mengenai teknologi mekanik (mechanical technology) dan elektrik, dalam kajian utama tulisan ini berupa internet. Semboyannya yang paling terkenal adalah “Medium is the message”. Medium atau sarana yang mempengaruhi manusia, bukan isi (content) apa yang disampaikan. Karakteristik medium sebenarnya adalah makna dari pesan itu sendiri sedangkan isi pesan menjadi hal yang ‘nothing’.
‘The medium is the message’ because it is the medium that shapes and controls the scale and form of human association and action. The content or uses of such media are as diverse as they are ineffectual in shaping the form of human association. Indeed, it is only too typical that the “content” of any medium blinds us to the character of the medium. It is only today that industries have become aware of the various kinds of business in which they are engaged.
(McLuhan, 1964: 11)
Di sisi lain, McLuhan membuat konsep global village atau ‘kampung global’, ia berpendapat bahwa ‘dunia tidak lebih dari sebuah dusun karena diringkas secara elektrik’ (Cavallaro, 2001: 199). Hal ini mencerminkan internet telah membawanya pada efek kecenderungan homogenisasi budaya akibat teknologi post-industrial. Oleh karena itu, pemikiran McLuhan juga banyak mencermati bentuk-bentuk efek dari teknologi mekanik elektrik sehingga pandangannya ini sering disebut ‘determinisme teknologi’.
Teknologi media, internet berperan dalam proses produksi budaya massa. Artinya ini lebih dekat pada sebuah industri budaya sebagaimana yang ditunjukkan oleh Adorno dan Horkheimer bahwa budaya tidak lepas dari ekonomi politik dan produksi kebudayaan kapitalis. Dalam tataran Cultural Studies, Raymond Williams berpendapat bahwa kata kebudayaan digunakan dalam dua pengertian, pertama sebagai keseluruhan cara hidup, dan kedua, untuk menunjuk pada kesenian dan pembelajaran…“kebudayaan itu adalah hal-hal yang dialami dalam hidup sehari-hari” (Williams, 1989:4).
Praktik ini terwujud dari kehidupan para aktifis netter, artinya keberadaan mereka semakin mengukuhkan adanya budaya digital, kegiatan untuk konsumsi material dan tanda yang ada dimediasi oleh material. Hal tersebut dapat dicirikan pada aktifitas masyarakatnya yang massif, karena dipengaruhi kultur industri demi menjaga produktifitas, efesiensi dan kepraktisan. McLuhan akhirnya berkesimpulan bahwa masyarakat sekarang sedang mengalami ‘keterputusan fundamental dengan masa lalu’. Lebih jelas, Mcluhan menyadari bahwa visual, budaya cetak individualistis cetak akan segara diakhiri apa yang disebut dengan ‘ketergantungan elektronik’ (electronic interdependence).
Kemudian, McLuhan menjawabnya dalam karya monumental Understanding Media, yaitu tentang bagaimana media bisa mereproduksi dirinya dan kita mengantisipasi teknologi elektronik yang hadir, oleh karena itu muncullah apa yang ia sebut dengan ‘implosion’ (ledakan ke dalam).[5] Artinya, pandangan Mcluhan terhadap teknologi internet ini adalah optimis, meskipun ia memberikan catatan kritis: Media elektronik telah mengarahkan suatu fase dari Gutenberg galaxy ke electronic tribalism.

Sumber lebih lengkapnya silahkan kunjungi :
http://belajarjarlan.blogspot.co.id/2012/06/global-village.html



Tidak ada komentar:

Posting Komentar